Ketika gagasan moratorium tambang kembali dibicarakan, banyak yang melihatnya sebagai tanda bahwa kita mulai menyadari batas daya tahan bumi. Namun, hingga kini, moratorium itu belum benar-benar menjadi kebijakan.
Ia baru hidup sebagai wacana reflektif sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, menatap tanah yang mulai gersang, dan menimbang ulang harga ekologis dari setiap ton mineral yang diangkut dari perut bumi.
Ironisnya, pada saat ide jeda itu muncul, negara justru mempercepat langkah. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025, ruang bagi investasi tambang justru dibuka lebih lebar. Atas nama hilirisasi dan transisi energi, industri ekstraktif kembali diberi napas panjang.
Sementara itu, di balik setiap perluasan konsesi, ada suara yang jarang terdengar: suara perempuan. Mereka yang kehilangan air, lahan, dan ketenangan hidup karena tambang berdiri di belakang rumah mereka. Dalam luka yang mereka tanggung, gagasan tobat ekologi menemukan maknanya.
UU Nomor 2 Tahun 2025 disebut pemerintah sebagai upaya memperkuat tata kelola sumber daya alam. Namun di balik semangat itu, regulasi ini juga mempertegas sentralisasi izin di tangan pemerintah pusat dan memberi kelonggaran baru bagi perusahaan besar.
PP Nomor 39 Tahun 2025 memperkenalkan istilah green mining dan responsible mining, tetapi tanpa mekanisme yang jelas untuk mengukur tanggung jawab sosial maupun ekologis.
Dalam konteks itu, moratorium tambang muncul bukan sebagai keputusan politik, melainkan gagasan moral. Ia menuntut jeda etis di tengah euforia eksploitasi, semacam seruan untuk menata kembali relasi antara negara, alam, dan manusia.
Faktanya, menurut data Kementerian ESDM (2025), masih ada lebih dari 4.250 izin tambang aktif di seluruh Indonesia, mencakup lebih dari 9 juta hektare wilayah konsesi. Sebagian besar berada di kawasan hutan dan daerah tangkapan air.
Di beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara, tambang bahkan mengelilingi permukiman dan sumber air masyarakat.
Kebijakan yang memperbanyak izin dan memperpanjang kontrak lama membuat gagasan moratorium tampak seperti bisikan di tengah gemuruh alat berat. Namun justru di situlah nilainya ia bukan upaya menolak pembangunan, melainkan ajakan untuk berpikir waras tentang arah pembangunan itu sendiri.
Di banyak daerah tambang, dampak kebijakan ini tidak hanya terlihat di peta konsesi, tetapi juga terasa di kehidupan sehari-hari. Menurut Solidaritas Perempuan (2024), di lima provinsi penghasil tambang terbesar Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua lebih dari 60 persen perempuan kehilangan akses air bersih, dan lebih dari setengahnya kehilangan lahan pangan keluarga akibat perluasan tambang.
Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2025) mencatat setidaknya 375 izin konsesi menutupi 111 pulau kecil, dengan luas lebih dari 500 ribu hektare. Pulau-pulau yang dulu menjadi tempat hidup nelayan perempuan kini perlahan rusak oleh abrasi dan pencemaran limbah.
Ketika air tak lagi bisa diminum dan tanah tak lagi bisa ditanami, perempuanlah yang pertama kali merasakan dampaknya. Mereka harus berjalan lebih jauh mencari air, mengganti bahan pangan, dan menjaga keluarga di tengah lingkungan yang berubah. Namun dalam dokumen hukum, suara mereka nyaris tak disebut.
Baik UU Minerba 2025 maupun PP 39 Tahun 2025 tidak menyinggung perlindungan perempuan terdampak tambang. Padahal, keadilan ekologis tak bisa dilepaskan dari keadilan sosial dan gender. Jika hukum hanya berbicara tentang efisiensi ekonomi, sementara tubuh-tubuh perempuan menjadi korban senyap dari pembangunan, maka negara telah kehilangan arah moralnya.
Moratorium tambang seharusnya menjadi ruang jeda untuk mendengar mereka Kembali bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai penjaga kehidupan yang paling tahu bagaimana bumi bekerja.
Lubang-lubang tambang di Kalimantan dan Sulawesi hari ini adalah cermin dari kelelahan bumi dan barangkali juga kelelahan nurani kita. Selama bertahun-tahun, pembangunan diukur dari angka produksi dan nilai ekspor, bukan dari kemampuan bumi bertahan hidup.
Di titik ini, tobat ekologi menjadi penting. Tobat bukan sekadar penyesalan, melainkan kesediaan untuk berhenti dan memperbaiki arah. Ia mengingatkan bahwa hubungan manusia dengan alam bukan hubungan kuasa, melainkan hubungan tanggung jawab.
Dalam kerangka hukum, tobat ekologi adalah cara baru membaca Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam bukan sekadar sumber pendapatan, tetapi sumber kehidupan. Maka, pembangunan yang melupakan keseimbangan ekologis sejatinya sedang mengingkari konstitusi itu sendiri.
Moratorium tambang dapat menjadi langkah pertama menuju tobat itu. Bukan pelarangan mutlak, melainkan proses refleksi dan audit nasional atas seluruh izin yang telah diberikan. Negara perlu meninjau ulang konsesi di wilayah rawan bencana, menetapkan batas ekologis yang tegas, serta memastikan bahwa setiap tambang memberi manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat, bukan hanya bagi pasar global.
Meski baru sebatas ide, moratorium tambang adalah tanda bahwa nurani publik belum sepenuhnya padam. Ia mengandung pesan moral bahwa pembangunan sejati bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang keberanian untuk menolak kerusakan yang dibungkus dalam nama kemajuan.
Perempuan di wilayah tambang telah lebih dulu menjalani bentuk tobat ekologi mereka sendiri. Mereka menanam di tanah yang rusak, menjaga air yang tersisa, dan menolak menyerah pada kerusakan yang dianggap tak terelakkan. Dalam tangan mereka, bumi yang lelah masih memiliki harapan.
Negara belum berani berhenti, tetapi masyarakat sudah mulai melangkah pelan menuju kesadaran baru. Sebab, tobat ekologis tidak menunggu kebijakan, melainkan tumbuh dari hati yang sadar bahwa bumi juga makhluk yang bisa terluka.
Moratorium tambang mungkin baru wacana. Tetapi dari wacana semacam inilah, bangsa belajar untuk bertobat bukan hanya kepada hukum, melainkan kepada bumi itu sendiri.
Annisa Nuril Deanty. Mahasiswa Magister Hukum Kenergaraan Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Srikandi Energi Indonesia.
