Panitera pengganti terdakwa kasus suap vonis lepas (migor), Wahyu Gunawan, menangis di persidangan. Wahyu menangis saat menceritakan anak pertamanya tak mau menemuinya hingga sekarang.
Hal itu disampaikan Wahyu Gunawan saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/10/2025). Mulanya, ketua majelis hakim Effendi meminta Wahyu menceritakan tentang keluarganya.

Wahyu lalu menceritakan tentang tempat kelahiran dan kedua orang tuanya. Wahyu langsung menangis saat mulai menceritakan tentang anak pertamanya yang tak mau menemuinya sejak awal penahanan hingga sekarang.
“Saya sudah menikah memiliki istri dan 4 orang anak. Anak pertama saya berusia 12 tahun,” kata Wahyu dengan suara terjeda dan terisak.
“Masih bisa nggak ini?” timpal hakim.
“Bisa Yang Mulia. Anak pertama saya berusia 12 tahun, saat ini kelas 2 SMP sejak awal ditahan sampai saat ini, tidak mau menemui saya,” jawab Wahyu sambil terisak.
Wahyu lalu menceritakan usia empat anaknya. Dia mengatakan anak pertamanya berusia 12 tahun dan anak bungsunya berusia 1 tahun.
“Yang pertama umur?” tanya hakim.
“12 tahun, perempuan,” jawab Wahyu.
“Yang nomor 2?” tanya hakim.
“Usia 7 tahun kelas 1 SD, laki-laki,” jawab Wahyu.
“Nomor 3?” tanya hakim.
“Laki-laki usia 2 tahun, yang keempat laki-laki usia 1 tahun,” jawab Wahyu.
Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.
Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.
Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.