Pemerintah akan membangun pembangkit listrik tenaga sampah () di berbagai daerah. Teknologi insinerasi modern dinilai telah terbukti efektif di berbagai negara maju seperti Jepang, Singapura, Denmark, Korea Selatan, Swedia, dan Tiongkok.
“Selain menghasilkan energi listrik, teknologi ini mampu mengurangi volume sampah hingga 70-90 persen. Di beberapa negara, residu bottom ash dimanfaatkan untuk campuran beton dan paving, sementara fly ash dikelola di fasilitas pengolahan limbah lanjutan,” kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup (LH) Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat dan Daerah, Hanifah Dwi Nirwana, Senin (27/10/2025).
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan sebagai payung hukum pelaksanaan. Program ini menjadi langkah serius terhadap penanganan masalah sampah di Tanah Air oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Program ini menjadi salah satu langkah strategis yang ditempuh adalah mengubah timbunan sampah menjadi sumber energi melalui pendekatan waste to energy (WTE). Dia menyebut, teknologi insinerasi modern punya keunggulan dengan cara memproses atau mengolah timbunan sampah secara aman untuk lingkungan dan jangka panjang.
Dia menambahkan, percepatan realisasi program waste to energy memerlukan koordinasi lintas sektor yang solid. Saat ini, kolaborasi antara berbagai kementerian dan lembaga telah berjalan intensif, melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Kemenko Pangan, Kemenko Infrastruktur, Kemenko Perekonomian, serta BPI Danantara.
“Dalam pembahasan, seluruh pihak dilibatkan sejak tahap awal karena kebijakan ini menyentuh banyak aspek, mulai dari hukum, kesiapan pemerintah daerah, teknologi, hingga pembiayaan. Semua proses disusun sesuai norma dan aturan yang berlaku,” jelasnya.
Hanifah menekankan, pemilihan teknologi ramah lingkungan menjadi faktor kunci dalam kebijakan ini. Setiap proyek wajib memenuhi parameter ketat terkait kualitas udara dan air untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang.
Ia menjelaskan, BPI Danantara memiliki peran strategis dalam menentukan pengembang dan pengelola fasilitas Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), termasuk memastikan kesesuaian teknologi yang digunakan. Sebelum lokasi proyek PSEL ditetapkan, dilakukan verifikasi lapangan oleh KLH, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian ESDM.
“Hasil verifikasi kemudian dibahas dalam rapat terbatas, dan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Lingkungan Hidup, proses selanjutnya dilimpahkan kepada BPI Danantara untuk ditindaklanjuti,” ungkap Hanifah.
Meski demikian, ia mengakui masih terdapat tantangan di tingkat daerah, terutama terkait kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan volume sampah yang cukup besar yakni minimal 1.000 ton per hari agar proyek PLTSa dapat beroperasi optimal.
“Konsekuensinya, pemerintah daerah juga perlu menyiapkan alokasi anggaran yang memadai untuk operasional pengangkutan dan pengumpulan sampah,” tutup Hanifah.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
