Para Sherpa, sejak lama digambarkan sebagai “manusia super” yang berperan sebagai pemandu dan porter di Gunung Everest. Mereka menghadapi banyak bahaya di gunung dan kini mulai berbagi kisah dari sudut pandang mereka. Adakah cara meminimalisir risiko pekerjaan mereka?
Radio di Posko Utama Gunung Everest sempat berbunyi, lalu hening.
Dorchi Sherpa, pemimpin posko saat itu, menempelkan alat itu ke telinganya, berusaha mendengar siaran lain.
Di luar tendanya, siluet besar pegunungan Himalaya terlihat di langit fajar.
Tenda-tenda ekspedisi tersebar di punggung bukit berbatu di bawahnya, ramai dengan aktivitas pada tanggal 22 Mei, hari tersibuk musim pendakian semi 2024.
“Saat mendengar transmisi terakhir itu, hati saya mencelos,” kata Dorchi pada saya kemudian, wajahnya serius mengingat kejadian itu. “Cuaca cerah, tapi jelas ada sesuatu yang salah di atas sana.”
Pesan yang terputus-putus itu adalah panggilan darurat terakhir dari Nawang Sherpa, pemandu berusia 44 tahun. Ia sedang memimpin Cheruiyot Kirui, seorang pendaki asal Kenya, menuju .
Tragedi yang terjadi pada hari itu menyoroti sebuah masalah yang menurut para pekerja di Everest, sudah terlalu lama diabaikan: risiko mematikan dan dilema keselamatan yang mustahil dihadapi para Sherpa.
Para pemandu dan porter terkenal di Himalaya ini, seringkali salah digambarkan sebagai “manusia super”, seolah-olah mereka tidak terpengaruh oleh ketinggian, usaha keras, dan kekurangan oksigen.
Namun, prestasi legendaris mereka di Everest datang dengan pengorbanan besar, seperti yang diungkap dalam banyaknya penelitian, serta wawancara dengan para pendaki, dokter, dan pejabat setempat.
Jadi, apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2024dan apa yang diungkapkannya tentang perjuangan yang lebih besar terkait kesehatan dan kesejahteraan Sherpa?
Seperti kebanyakan tragedi di Everest, kejadian ini bermula dari ambisi, dan bagi si pemandu, kebutuhan ekonomi.
Nawang Sherpa, yang bekerja untuk perusahaan trekking asal Nepal, memulai pendakian terakhirnya menuju puncak Everest bersama Kirui.
Istilah “Sherpa”, yang kini sering digunakan sebagai sebutan pekerjaan untuk pemandu di Himalaya, sebenarnya merujuk pada kelompok etnis dari dataran tinggi timur Nepal.
Nawang Sherpa, dan orang-orang lain dengan nama keluarga Sherpa yang disebutkan dalam artikel ini, termasuk dalam kelompok etnis tersebut, selain juga bekerja sebagai pemandu.
Sejak kegiatan pendakian gunung dimulai di wilayah itu, orang-orang Sherpa telah membawa di Gunung Everest, mulanya untuk penjelajah kolonial, dan kemudian, untuk para turis.
Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang selalu membawa beban terberat dalam setiap pendakian.
Kirui berusaha bergabung dengan kelompok pendaki yang mencapai puncak tanpa bantuan oksigen tambahan.
Sejak 1953, ketika Everest pertama kali didaki, hanya sekitar 2% dari semua pendakian yang sukses hingga ke puncak, menurut catatan dari .
Dalam unggahan media sosialnya sebelum ekspedisi, Kirui menunjukkan kegembiraannya mencoba pendakian “murni” ini, setelah sebelumnya berhasil mendaki gunung lain tanpa bantuan oksigen.
Tantangan mendaki tanpa peralatan pendukung, jelas merupakan batas petualangan baru bagi pendaki gunung berpengalaman itu.
Pada saat-saat kritis di ketinggian gunung, ketika tabung oksigen dibutuhkan, masih belum jelas apakah penolakannya adalah pilihan yang disengaja sesuai dengan ambisi yang ia inginkan, atau apakah penilaiannya sudah terganggu karena dampak ketinggian.
Dorchi Sherpa, manajer posko utama, menerima transmisi radio dari Nawang saat mereka mencapai ketinggian 8.800 meter.
Pada ketinggian itu, yang oleh para pendaki disebut zona kematian, tubuh manusia mulai mati. Dengan tekanan atmosfer , napas mulai sulit dan hanya memberikan sedikit oksigen untuk mempertahankan fungsi dasar tubuh.
“Kliennya sepertinya tidak sehat,” suara Nawang Sherpa berderak sampai ke Posko Utama pada pukul 08:07, gangguan angin membuat kata-katanya terputus-putus saat ia melapor kepada Dorchi.
“Oksigen,” jawab Dorchi Sherpa segera. “Pasangkan dia oksigen dan mulailah turun.”
Menurut Dorchi Sherpa, Nawang memohon kepada Kirui selama beberapa menit untuk menerima tabung oksigen tambahan dari ranselnya.
Kirui menolak, kata Dorchi. “Tidak pakai oksigen,” ia mengulang dengan gelisah. “Tidak pakai oksigen.”
Pada pukul 09:23, ketika suara Nawang Sherpa kembali melalui radio, ketakutan telah menggantikan kekhawatiran. “Tidak bisa menggerakkannya,” lapornya. “Dia jadi… marah. Saya tidak bisa menyeretnya turun sendirian.”
Selama dua jam berikutnya, Kirui menolak oksigen tambahan meski Nawang Sherpa mendesaknya berulang kali untuk menggunakannya, menurut Dorchi Sherpa.
Meskipun menunjukkan tanda-tanda jelas penyakit ketinggian, termasuk merasa linglung dan bicara cadel, pendaki Kenya itu tetap bertekad untuk melanjutkan pendakiannya tanpa oksigen tambahan.
Getty ImagesPara pendaki jalan beriringian menuju puncak Everest.
Jalan buntu ini berujung fatal. Kedua pria itu meninggal di Everest. Jasad mereka masih di sana: tetap berada di lokasi terakhir ia terlihat, sementara jasad Nawang belum ditemukan.
Tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi pada saat-saat terakhir yang krusial itu dan kemungkinan besar, kita tidak akan pernah tahu.
Tentu saja, semua orang memulai perjalanan dengan niat terbaik. Kekasih Kirui, Nakhulo Khaimia, menggambarkan perjalanan itu sebagai impian lama baginya, yang telah ia persiapkan dengan cermat.
“Dia mencurahkan waktu, energi, dan seluruh hidupnya untuk itu,” katanya. “Kehidupannya berputar pada persiapan untuk Everest.”
James Muhia, yang tidak ikut dalam ekspedisi Everest tetapi pernah mendaki gunung lain bersama Kirui tanpa oksigen, mengatakan ia percaya temannya membawa tabung oksigen untuk digunakan dalam keadaan darurat.
“Apakah dia menggunakan tabung darurat itu atau tidak, kita tidak tahu,” katanya.
Sementara itu, Nawang adalah pemandu gunung berpengalaman yang belum pernah mencapai puncak Everest sebelumnya, tetapi telah mencapai puncak-puncak tinggi lainnya di Himalaya, menurut keluarganya.
Namun, mereka yang bekerja di gunung, memperingatkan sejumlah faktor, termasuk kondisi kerja para Sherpa, dapat membuat situasi mematikan semacam ini menjadi sangat rumit, dan sulit diselesaikan dengan aman.
Menurut Sanu Sherpa, seorang pemandu veteran yang memegang rekor sebagai satu-satunya orang yang telah mencapai puncak ke-14 gunung dengan ketinggian 8.000 mdpl sebanyak dua kali, kematian Nawang bukanlah tragedi yang tiba-tiba terjadi, melainkan pola yang dapat diprediksi dalam pendakian gunung.
Saya berbicara dengan Sanu Sherpa di apartemennya di Kathmandu, saat ia sedang bersiap untuk pendakian ke-45. Meskipun telah dua kali mendaki ke-14 gunung tertinggi di dunia, ia tidak berbicara tentang kepuasan pribadi melainkan tentang kewajiban profesional.
“Saya tidak berpikir Nawang ceroboh atau bodoh,” katanya. “Dia melakukan persis seperti apa yang telah kami pelajari dalam pelatihan untuk bertanggung jawab hingga akhir. Tragedi ini bukan hanya karena dia meninggal, tetapi karena kematian adalah pilihan yang paling tepat secara profesional yang bisa dia buat.”
Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang membawa barang-barang pendaki.
Di Everest dan puncak-puncak Himalaya lainnya, tragedi yang melibatkan Sherpa seperti ini terjadi setiap tahun dengan sedikit perhatian publik, kata Sanu Sherpa. Ini menciptakan daftar panjang pengorbanan yang dilakukan demi ambisi orang asing.
Dituntut untuk profesional sebagai pemandu dapat menempatkan mereka dalam bahaya besar, terutama jika digabungkan dengan risiko inheren di , demikian hasil beberapa penelitian.
Pemandu Sherpa seringkali terjebak antara nilai-nilai tradisional pelayanan dan pengabdian, tekanan ekonomi dari industri di mana pemandu dipekerjakan berdasarkan reputasi pribadi mereka, dan kenyataan hidup atau mati saat bekerja di ketinggian ekstrem.
Dalam situasi ini, kepuasan klien seringkali lebih diutamakan daripada keselamatan pribadi.
Tragedi ini menyoroti risiko yang diambil oleh Sherpa seperti Nawang ketika mereka setuju untuk menemani seorang klien.
Bekerja sebagai pemandu atau porter di Everest menawarkan peluang ekonomi langka di salah satu wilayah termiskin di dunia.
Namun, pekerjaan ini menuntut harga yang tak tertandingi dalam profesi jasa apa pun, di mana para pekerja secara rutin mengorbankan kesejahteraan mereka demi klien.
Ketika tragedi melanda, para Sherpa seringkali menghilang dari cerita.
Menurut , sebanyak 132 Sherpa tewas di lereng Everest, 28 di antaranya terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Mereka terjatuh ke jurang, hancur tertimpa serac yang runtuh (bongkahan es besar), atau menghilang begitu saja di luasnya gunung saat melayani klien mereka.
Sementara para pendaki asing mungkin melihat bahaya ini sebagai risiko yang dapat diterima demi pencapaian pribadi mereka, bagi para pemandu dan porter di Everest, data tersebut menyajikan kenyataan tempat kerja yang suram: meninggal saat bertugas.
Ini adalah bahaya pekerjaan yang luar biasa menurut standar ukuran apa pun.
Pada masa lalu, risiko yang dihadapi para Sherpa seringkali diremehkan. Sebaliknya, orang asing cenderung menonjolkan kekuatan dan ketahanan mereka.
Ini adalah gambaran yang mulai secara terbuka ditentang oleh para Sherpa sendiri.
Dawa Sherpa, perempuan Nepal pertama yang mendaki 14 puncak gunung tertinggi Himalaya itu, menyoroti kesalahpahaman berbahaya tentang Sherpa yang memiliki kemampuan manusia super.
Ia telah menyaksikan dampak fisik yang terjadi: para pemandu menopang klien yang kesulitan selama berjam-jam, menyiapkan makanan di ketinggian, dan membatasi oksigen mereka agar klien bisa terus mendaki.
“Mereka bukan manusia super. Sherpa sering memaksakan diri melampaui batas aman demi memprioritaskan tujuan puncak orang lain,” kata Dawa Sherpa.
“Saya melihat mereka kembali dengan radang dingin atau kekurangan oksigen karena mereka mengorbankan keselamatan mereka demi pencapaian orang lain.”
Ia mencatat bahwa pendaki kaya terkadang mempekerjakan beberapa Sherpa per ekspedisi.
Ketika kelelahan saat turun, mereka berharap untuk dibantu secara fisik ke bawah. Dinamika ini, ia menekankan, membuat gunung menjadi lebih berbahaya bagi mereka yang memikul beban terberat.
Saat berbicara tentang bahaya yang mereka hadapi, para Sherpa yang diwawancarai oleh BBC terus kembali ke masalah mendasar dari ketidakseimbangan kekuatan yang sangat tidak setara: ketidakmampuan pemandu untuk menolak permintaan berbahaya klien, bahkan ketika kesehatan mereka terancam, karena takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
“Sherpa tidak mendaki untuk ketenaran dan kemuliaan, atau untuk suatu pencapaian.
Mereka mendaki karena terkadang itu satu-satunya sumber penghidupan. Kenyataan mendasar itulah yang membentuk setiap keputusan yang dibuat di gunung,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal (NMA).
Asosiasi ini menyediakan program pelatihan bagi pemandu dan porter untuk meningkatkan standar keselamatan dan kualifikasi profesional.
“Kendala sistemik ini membantu menjelaskan mengapa pemandu seperti Nawang membuat pilihan yang mereka lakukan,” kata Nuru Sherpa.
“Konsekuensi profesional dari meninggalkan klien, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan dalam industri berbasis reputasi, kemungkinan besar sama beratnya dengan masalah keselamatan langsung pada saat-saat pengambilan keputusan ketika seseorang kehilangan oksigen.”
Dia menambahkan, “Ketika seluruh keluarga Anda bergantung pada pekerjaan Anda sebagai pemandu gunung, pergi begitu saja menjadi hampir tidak mungkin.”
Sementara itu, prestasi luar biasa para Sherpa sendiri cenderung menarik sedikit perhatian. Pada Mei 2025, Sherpa Nepal, Kami Rita memecahkan rekornya sendiri untuk jumlah , ketika ia mendaki puncak tertinggi di dunia untuk ke-31 kalinya.
Sanu Sherpa mengatakan bahwa sebagian besar tetap tidak diakui bahkan di Nepal sendiri, sementara prestasi yang jauh lebih kecil oleh pendaki gunung asing seringkali menerima perayaan dan imbalan finansial yang lebih besar.
Getty ImagesPencapaian Sherpa tidak banyak mendapat pengakuan, dibandingkan pendaki asing dengan sedikit pencapaian tetapi mendapat imbalan finansial yang besar.
Hubungan tidak setara antara pendaki Barat dan Sherpa dalam bayang-bayang kolonialisme.
Ketika ekspedisi Inggris pertama kali mendekati Gunung Everest pada tahun 1920-an, mereka merekrut pria lokal sebagai “”istilah yang dipinjam dari masa kolonialuntuk membawa perlengkapan mereka yang sangat banyak, termasuk semuanya mulai dari peralatan makan perak hingga kotak sampanye.
Sherpa-Sherpa awal ini hanya menerima sedikit pengakuan. Nama mereka jarang muncul dalam catatan ekspedisi, kecuali jika terjadi bencana.
Dalam kronik salah satu ekspedisi awal ini, petualang Inggris menyebut mereka terutama dalam longsoran saljukematian pertama yang tercatat di Everest.
Pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan pudarnya kesan imperial dalam pendakian gunung, dinamika mulai bergeser.
pada 1953 bersama Edmund Hillary terpaksa keterampilan Sherpa, setelah pers internasional awalnya meremehkan pencapaiannya, menggambarkannya sebagai pendamping yang mengagumkan dan teman yang ceria bagi Hillary yang heroik.
pada 1980-an, mengubah Everest menjadi pasar dan Sherpa menjadi penyedia layanan penting.
Ketika klien kaya dengan keterampilan teknis terbatas mulai mengejar puncak, tanggung jawab Sherpa meluas secara dramatis.
Tidak lagi hanya pembawa beban, mereka menjadi pemandu, teknisi keselamatan, dan terkadang penyelamat, peran yang menuntut keterampilan lebih besar tetapi datang dengan otoritas tambahan yang terbatas.
Pemimpin ekspedisi Barat mempertahankan kekuatan pengambilan keputusan sementara Sherpa menanggung peningkatan risiko fisik.
Bencana menjadi titik balik. Pada 2014, 16 pekerja Nepal tewas dalam satu saat mempersiapkan rute untuk klien komersial, Sherpa di seluruh Everest melakukan penghentian kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.
mereka memaksa perhitungan dalam ketidakadilan pada industri wisata alam itu dan menghasilkan perbaikan sederhana dalam cakupan asuransi dan kompensasi.
Para ahli memperingatkan, akar masalahnya adalah kekuatan antara pemandu dan klien, dalam lingkungan ekstrem di mana pemikiran seseorang menjadi kabur akibat ketinggian, dan setiap keputusan yang salah bisa berakibat fatal.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Hasilnya, mereka memberi tahu BBC, industri wisata alam ekstrem itu telah menormalisasi kondisi yang mengancam jiwa sebagai bagian dari deskripsi pekerjaan bagi para pemandu, yang harus secara rutin menempatkan diri mereka dalam bahaya besar untuk memenuhi aspirasi pelanggan mereka.
Di Dingboche, pada ketinggian 4.410 meter di jalur menuju Everest Base Camp, petugas medis ekspedisi Abhyu Ghimire bergerak di antara ruang-ruang pemeriksaan di Mountain Medical Institute.
Di luar jendelanya, puncak-puncak Ama Dablam yang bergerigi menjulang di antara langit biru cerulean. Ini adalah musim ekspedisi, dan hari-harinya membentang dari fajar hingga jauh setelah senja.
Setelah berhasil mencapai puncak Everest sendiri dan bekerja sebagai petugas medis selama hampir satu dekade, dia telah menyaksikan secara langsung bagaimana ketinggian memengaruhi pikiran dan tubuh.
Efek ini dapat semakin memperumit dinamika klien-pemandu, keputusan yang dibuat dan membahayakan nyawa.
“Otak menjadi sangat ‘berkabut’ di ketinggian,” jelasnya dalam panggilan video di antara konsultasi pasien. “Otak seharusnya berfungsi pada saturasi oksigen 99% di atas permukaan laut. Di sana, bahkan saturasi oksigen .”
Kemunduran kognitif ini, tidak terlihat tetapi berpotensi mematikan, mengubah kepribadian dan pengambilan keputusan dengan cara yang menentang penjelasan rasional.
“Otak berfungsi jauh di bawah kapasitas dan pengambilan keputusan menjadi sangat terganggu,” kata Ghimire. “Ini bahkan dapat menyebabkan halusinasi.”
Transformasi ini bisa mendalam dan membingungkan: “[Bahkan] sahabat Anda di ketinggian itu dapat memicu reaksi yang sangat intens di sana, sehingga jika seseorang hanya meminta Anda untuk mengoper botol air, Anda mungkin melemparkannya ke wajah mereka. Seseorang yang familiar menjadi orang asing,” jelasnya.
Menurut Ghimire, pendaki Kenya Kirui akan mengalami kerusakan kognitif progresif saat dia mendaki lebih tinggi tanpa oksigen tambahan.
Pada saat Nawang Sherpa menghubungi base camp untuk melaporkan kliennya tampak tidak sehat, pusat pemikiran rasional Kirui mungkin sudah tidak berfungsi, kata Ghimire.
Penolakan Kirui terhadap oksigen tambahan sejalan dengan (kekurangan oksigen) yang dikenal: semakin otak kekurangan oksigen, semakin tidak mampu ia mengenali gangguannya.
Penilaian Nawang Sherpa sendiri akan semakin terganggu oleh ketinggian meskipun ia menggunakan oksigen tambahan, kata Ghimire, karena oksigen dalam tabung tersebut tidak cukup untuk memberikan kondisi oksigen setara dataran biasa kepada pendaki, melainkan, hanya memberikan oksigen sebanyak yang akan mereka miliki pada ketinggian sekitar 6.000 7.000m.
Pasokan oksigen yang terbatas ini, bersama dengan kelelahan, potensi dehidrasi, dan dingin ekstrem yang dihadapi pemandu, dapat mengurangi kejernihan mentalnya sendiri, kata Ghimire.
Selain itu, Nawang Sherpa akan menghadapi apa yang Ghimire gambarkan sebagai masalah umum: “Sering kali, klien yang menghadapi hipoksia menjadi sulit dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan pemandu mereka.”
Tantangan fisik yang dihadapi para pekerja gunung di Nepal jauh melampaui momen-momen krisis di atas Base Camp.
Dampak fisik sehari-hari dimulai jauh lebih rendah dari puncak gunung, menumpuk selama bertahun-tahun pelayanan mereka.
“Pada ketinggian di atas 4.000m, tinggal untuk waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gunung kronis,” Ghimire menjelaskan.
Kondisi ini, yang secara medis dikenal sebagai (atau Penyakit Gunung Kronis), bermanifestasi sebagai trias gejala berbahaya: “polisitemia, di mana darah menjadi sangat kental, hipertensi pulmonal, di mana paru-paru menjadi tertekan, dan hipoksia kronis, yaitu oksigen yang terus-menerus rendah dalam darah,” katanya.
Getty ImagesSalah satu pendaki di Himalaya.
Ada juga risiko berbeda untuk pemandu Sherpa dan non-Sherpa. Etnis Sherpa memiliki adaptasi genetik terhadap ketinggian selama beberapa generasi, sementara pekerja yang semakin banyak direkrut dari kelompok Nepal lainnya tidak memiliki keunggulan biologis ini, kata Ghimire.
Perbedaan ini penting secara medis, karena mereka yang tidak memiliki adaptasi ketinggian menghadapi saat melakukan pekerjaan yang sama di lingkungan yang kekurangan oksigen.
Dinamika populasi di wilayah Khumbu memperparah risiko ini. “Banyak orang dari dataran rendah datang ke sini mencari pekerjaan,” kata Ghimire. “Mereka bermigrasi ke dataran tinggi tetapi tidak memiliki yang telah diteliti yang akan membuat mereka lebih tangguh terhadap kondisi ini.
Mereka terpaksa menghabiskan waktu lama di dataran tinggi, yang menyebabkan masalah jantung, masalah darah, kekurangan vitamin D, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.”
Menurut, seorang dokter dari Khunde, tiga porter dari daerah yang lebih rendah telah kehilangan nyawa akibat komplikasi terkait ketinggian tahun ini, bahkan semuanya di bawah base camp.
Di markas Departemen Pariwisata di pusat Kathmandu, Rakesh Gurung, mantan direktur bagian pendakian gunung, berbicara dengan kekhawatiran yang terukur.
Duduk di balik meja kayu tua di kantor pemerintahan sederhana, tempat izin pendakian diproses dan peraturan ekspedisi dirancang, ia merenungkan tantangan industri.
“Ada kegagalan sistematis dalam memberikan keselamatan yang layak bagi Sherpa,” ia mengakui. “Meskipun kami memiliki peraturan dasar, membuat dan menegakkan kode etik yang komprehensif terbukti sangat sulit.
Industri ini terfragmentasi, dengan lusinan operator bersaing dalam harga daripada standar keselamatan.”
Dia mengatakan departemen pariwisata kekurangan sumber daya dan keahlian khusus untuk secara efektif memantau apa yang terjadi di ketinggian ekstrem.
Selain itu, lanskap politik Nepal yang terus berubah mempersulit penyusunan rencana yang efektif, katanya.
“Kami telah memiliki beberapa pemerintahan yang berbeda dalam dekade terakhir saja, pengembangan kebijakan yang konsisten hampir tidak mungkin. Setiap pemerintahan baru membawa prioritas yang berbeda dalam manajemen pariwisata.”
Ketidakseimbangan kekuatan ini melampaui hubungan pemandu-klien individual hingga kerangka peraturan itu sendiri, serta ekonomi tenaga kerja di ketinggian. Seorang pemandu Sherpa veteran mungkin $5.000 dan $12.000 (antara Rp80 juta – Rp190 juta) dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399 (Rp22 juta).
Namun, penghasilan ini menopang keluarga dan datang dengan risiko fisik yang luar biasa. Ketika tragedi menimpa, jaring pengaman finansial tetap tidak memadai, kata para pemandu.
“Yang hilang adalah perhitungan berkelanjutan dengan ketidakadilan struktural yang membuat Nepal terikat pada ekonomi berbahaya ini, dan ketiadaan alternatif nyata,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal.
“Ketika suatu komunitas memiliki pilihan terbatas, gunung menjadi bukan hanya latar belakang kita tetapi sebuah keharusan, terlepas dari dampak fisik.”
Pemerintah baru-baru ini asuransi jiwa wajib untuk Sherpa menjadi sekitar $14.400 (Pound 10.825), tetapi para pemandu mengatakan ini jauh dari cukup untuk memberikan kompensasi kepada keluarga yang bergantung atas hilangnya pendapatan dan perawatan seumur hidup.
Keluarga Nawang Sherpa menerima pembayaran asuransi standar ini setelah kematiannya, dengan majikannya mengumpulkan sumber daya tambahan untuk memberikan beberapa dukungan tambahan.
Getty ImagesSeorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399.
Bahkan peraturan keselamatan dasar pun sulit ditegakkan di tempat kerja tertinggi di dunia.
Menurut Departemen Pariwisata, peraturan pendakian gunung di Nepal secara eksplisit melarang pendakian solo di atas 8.000 meter demi alasan keselamatan. Namun, setiap musim selalu ada pendaki terkenal yang mencoba upaya semacam itu, dengan sedikit konsekuensi.
Sandesh Maskey, seorang petugas ekspedisi di Departemen Pariwisata, mengatakan bahwa .
“Kami belum memberikan izin kepada [pendaki solo] untuk melakukan ini sendirian. Itu tidak etis dan mereka akan melanggar hukum jika melakukannya.”
“Kami berharap pendaki bersikap etis, tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang melanggar aturan karena mereka tahu bahwa begitu mereka berada di gunung, kami tidak memiliki cara praktis untuk memantau atau menghentikan mereka,” katanya.
“Begitu pendaki bergerak di atas Base Camp, mekanisme pengawasan tradisional menjadi tidak praktis.”
Musim semi ini, sebagai tanggapan atas meningkatnya masalah keselamatan, Departemen Pariwisata menerapkan peraturan baru untuk musim pendakian 2025.
Baca juga:
Semua ekspedisi ke puncak di atas 8.000 meter sekarang harus menjaga rasio satu pemandu untuk setiap dua pendaki.
Departemen juga telah membuat perangkat wajib untuk semua ekspedisi guna membantu menemukan pendaki yang hilang.
Namun Sanu Sherpa, pemandu berpengalaman di Kathmandu yang sedang mempersiapkan ekspedisi berikutnya, ragu bahwa ini akan mengubah banyak halmengingat betapa sulitnya menegakkan aturan-aturan ini di Everest.
Saat dia bersiap untuk memulai ekspedisi Everest lagi keesokan harinya, dia mengakui bahwa dia selalu ingin berhenti dari pekerjaannya.
“Sangat menakutkan dengan empat anak dan hidup mereka sepenuhnya bergantung pada saya. Mereka bertanya mengapa saya mendaki gunung sama sekali.”
Kisah ini diperbarui pada 02/06/2025 untuk memperjelas bahwa Cheruiyot Kirui belum pernah mendaki Gunung Everest tanpa oksigen sebelumnya.
Versi Bahasa Inggris dari Artikel ini berjudul ‘ dapat Anda baca di laman .