Gerhana Matahari Buatan-Korona, Apa Hubungannya dengan Jaringan Ponsel-Listrik Bumi?

Posted on

Awal Juni lalu, misi Solar Orbiter, kolaborasi Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), untuk pertama kalinya berhasil mengamati kutub-kutub matahari.

Tak sampai seminggu kemudian, Proba-3 — misi Eropa lainnya yang diluncurkan dari India pada Desember 2024 — memfokuskan pengamatannya pada korona matahari, yaitu lapisan terluar dari atmosfer matahari.

Misi ini terdiri dari dua pesawat antariksa yang terbang berjarak sekitar 150 meter. Kedua pesawat tersebut melakukan manuver terbang dengan presisi hingga milimeter, sehingga salah satu pesawat dapat membayangi yang lain, menciptakan gerhana matahari buatan.

Gerhana buatan ini memungkinkan Proba-3 memblokir sinar terang matahari secara langsung, sehingga hanya korona di sekelilingnya yang tampak. Sejauh ini, tidak ada wahana lain yang berhasil mengamati korona sedekat ini dengan permukaan matahari.

Korona matahari menjadi sumber misteri dan kebingungan bagi para ilmuwan. Sementara, peluang untuk mengamati seluruh korona secara utuh sangat terbatas.

Korona memiliki tiga bagian utama: Korona atas, korona bawah, dan sebuah celah di antara keduanya. Meskipun sudah ada instrumen yang dapat mempelajari korona atas dan bawah, celah tersebut biasanya hanya terlihat dari Bumi saat terjadi gerhana matahari alami.

Satu hal yang membingungkan: Korona jauh lebih panas dibanding permukaan matahari.

Suhu di korona bisa mencapai lebih dari 1,1 juta derajat Celsius, sementara suhu permukaan matahari sekitar 5.500 derajat Celsius. Lebih aneh lagi, inti matahari memiliki suhu ekstrem sekitar 15 juta derajat Celsius.

Para astronom memperkirakan, karena korona berada jauh di atas permukaan dan membentang jauh ke luar angkasa, seharusnya korona lebih dingin, bukan lebih panas.

Dua pesawat Proba-3 — Occulter dan Coronagraph — secara rutin menciptakan gerhana matahari buatan setiap 19 jam 36 menit saat mengorbit, dan menjaga formasi presisi selama enam jam.

Teleskop biasa akan terganggu oleh cahaya matahari yang sangat terang sehingga tak bisa melihat korona. Namun, Occulter dengan tepat memblokir cahaya tersebut. Dengan diameter hanya 1,4 meter, cakram ini menghasilkan bayangan selebar delapan sentimeter, cukup untuk menciptakan gerhana buatan.

“Melihat gambar-gambar menakjubkan ini yang mengonfirmasi teknologi kami sungguh sangat membanggakan,” ujar Direktur Teknologi ESA, Dietmar Pilz, dalam siaran pers baru-baru ini.

Pesawat-pesawat ini terbang secara otonom, menggunakan penjejak bintang untuk mengenali rasi bintang dan GPS untuk navigasi.

Para astronom kini mendapatkan pemahaman baru yang cepat mengenai matahari. Pada awal Juni 2025, ESA dan NASA merilis gambar pertama kutub matahari hasil observasi Solar Orbiter.

Solar Orbiter menggunakan orbit baru yang dirancang khusus untuk mengamati kutub matahari dan mengumpulkan data tentang medan magnet, siklus matahari, serta fenomena cuaca matahari.

“Kutub matahari benar-benar wilayah yang belum pernah dijelajahi sebelumnya,” papar Sami Solanki dari Max Planck Institute for Solar System Research dalam siaran pers ESA, 11 Juni lalu.

Sementara itu, pada tahun 2021, Parker Solar Probe NASA menjadi wahana pertama yang terbang melewati korona matahari. Probe ini dirancang tahan panas dan radiasi, sehingga dapat memberikan pengamatan paling dekat terhadap bintang kita.

Misi Proba-3 juga berupaya meningkatkan pemahaman tentang cuaca matahari seperti lontaran massa korona dan badai matahari, yang dapat berdampak pada satelit komunikasi dan jaringan listrik di Bumi.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan

Proba-3 mencetak prestasi baru

Mengapa korona matahari menarik perhatian ilmuwan

Proba-3: Teknologi antariksa dengan presisi tinggi

Cara baru mengamati matahari