Kisah Guru Honorer NTT Hijrah ke Kalsel Mengejar Harapan di Sekolah Rakyat

Posted on

Bayubuana Toleu rela meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju medan pengabdian baru di Kalimantan Selatan (Kalsel). Pengorbanan pria berusia 27 tahun ini bukan tanpa alasan.

Ia resmi mengabdikan diri sebagai guru Geografi tingkat menengah atas di Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 9 Banjarbaru. Sebelum tiba di Bumi Lambung Mangkurat, Bayu, sapaan akrabnya, dulu mengajar di SMP Satap Negeri Sunbaki Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT sebagai guru honorer mata pelajaran IPS.

Latar belakang pendidikan Bayu sebagai lulusan Program Studi S1 Pendidikan Geografi dari Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT sangat cocok dengan kebutuhan Sekolah Rakyat. Pendidikannya makin moncer setelah melanjutkan kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang fokus pada bidang IPS di Universitas Negeri Surabaya.

Pada Desember 2024, Bayu berhasil menyelesaikan studi PPG. Dia kemudian mencari informasi soal lowongan pekerjaan di tempat asalnya. Tak butuh waktu lama, lamaran Bayu diterima dan ia mulai mengajar di SMP Satap Negeri Sunbaki, Kabupaten TTU, NTT pada Januari 2025.

Pria berambut ikal ini bercerita, sekolah tempat dia mengajar terletak di desa. Sedangkan rumahnya berada di kota. Setiap hari ia membutuhkan waktu sekira 60 menit pulang pergi dengan menggunakan motor.

Meskipun lokasinya jauh dari rumah, Bayu tetap mengambil tawaran tersebut. “Karena di sana pas ada formasi guru IPS yang kosong, kalau sekolah-sekolah di kota yang dekat rumah tuh formasinya sudah penuh semua. Makanya yang ada hanya di sekolah-sekolah jauh,” kata Bayu dengan logat khasnya.

Sebagai guru honorer, Bayu mendapatkan gaji sebesar Rp250 ribu. Uang ini harusnya ia terima rutin setiap bulan. Namun, pada kenyataannya, dia menerima duit tersebut setiap tiga bulan sekali dengan cara dirapel.

Kondisi itu mendorong Bayu untuk mencari peruntungan lainnya. “Soalnya kalau mau harap (gaji) dari honorer kayaknya enggak nutupin uang-uang yang dikeluarkan sehari-hari,” jelas dia.

Pada awal 2025, tersiar kabar bahwa pemerintah akan mendirikan Sekolah Rakyat. Program pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Perekrutan guru dan tenaga kependidikan pun dibuka untuk memenuhi kebutuhan di sekolah tersebut.

Salah satu syaratnya adalah para pendaftar wajib mengantongi sertifikat PPG. Nantinya, guru-guru yang lulus seleksi menjadi guru Sekolah Rakyat akan diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja Jabatan Fungsional (PPPK JF) di bawah naungan Kemensos.

Bayu menjadi salah satu dari ribuan guru yang mendaftar. Dia menaruh harapan besar agar kelak kehidupannya bisa lebih sejahtera jika lolos seleksi tersebut. Lantaran penghasilannya sebagai guru honorer dirasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari bersama orang tua.

Setelah melalui berbagai proses perekrutan, Bayu berhasil terpilih menjadi salah satu guru di Sekolah Rakyat. Ia begitu senang sekaligus terkejut lantaran mendapat penempatan di Kalimantan Selatan.

Tempat yang begitu jauh dari rumahnya membuat Bayu sempat ragu untuk mengambil kesempatan ini. Namun, setelah berdiskusi dan mempertimbangkan banyak hal, dia akhirnya memutuskan tetap melangkah menjadi guru jenjang SMA di Sekolah Rakyat.

“Orang tua pun kaget dapat di sini. Tapi akhirnya disetujui juga, diperbolehkan untuk jalan,” ungkapnya.

Bertugas di pulau berbeda dengan tempat tinggalnya tidak menyurutkan semangat Bayu dalam mendidik anak-anak di sekolah. Ia bahkan sudah menyiapkan pola mengajar yang menarik bagi siswa tingkat menengah atas yang akan dihadapinya.

Bayu mengungkapkan, ia memilih menggunakan aplikasi berbasis teknologi digital untuk menyampaikan materi pelajaran kepada murid-murid.

“Cara mengajar saya, saya biasa menggunakan aplikasi-aplikasi yang mana bisa memakai game-game. Itu salah satu strategi yang saya buat supaya pembelajaran di dalam kelas itu tidak monoton, agar anak-anak tidak bosan,” jelasnya.

Karakter dan latar belakang siswa yang beragam menjadi tantangan bagi Bayu. Misalnya, ada beberapa siswa kedapatan merokok di asrama. Perilaku yang dilarang dilakukan selama berada di lingkungan sekolah, tapi sudah menjadi kebiasaan sebelum mereka masuk ke Sekolah Rakyat.

Untuk menghadapi hal itu, Bayu mengakui bahwa perlu dilakukan pendekatan secara verbal terhadap para murid agar mereka mau menaati aturan yang berlaku.

“Cara mengatasinya kita panggil anak-anak, kita bicara empat mata antara anak dan guru. Kita harus ngomong ke mereka itu dengan pendekatan yang memang lebih ekstra sabar,” ujar dia.

Bayu menitipkan harapan kepada pemerintah agar program sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu secara ekonomi ini bisa terus berjalan dengan baik. Sehingga dapat membantu lebih banyak lagi anak-anak dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Ke depannya, sebut Bayu, pemerintah juga lebih memerhatikan kebutuhan para murid yang lulus dari Sekolah Rakyat.

“Mungkin ada yang mau lanjut kuliah, ada yang mau kayak tes-tes (masuk) polisi atau tentara. Itu mungkin pemerintah bisa fasilitasi sehingga cita-cita anak-anak itu bisa tercapai,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *