Membayangkan hidup di desa terpencil. Jarak ke apotek terdekat belasan kilometer. Harga beras dan minyak goreng lebih mahal dari kota.
Bantuan sosial telat diterima, dan urusan bank mengharuskan naik ojek tiga kali. Ini bukan imajinasi, ini realitas jutaan warga desa Indonesia. Itulah sebabnya kehadiran Koperasi Desa Merah Putih menjadi sangat penting.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Bagi warga desa, koperasi ini bukan sekadar toko. Ia adalah pusat kehidupan baru, tempat barang pokok lebih murah, layanan dasar lebih dekat, dan ekonomi lokal mulai menggeliat.
Warga desa adalah konsumen paling rentan terhadap inflasi. Mereka jauh dari pusat distribusi, namun harus membeli dengan harga yang sering kali lebih tinggi. Melalui Koperasi Merah Putih, pemerintah membalik rantai pasok itu.
Kini beras, minyak goreng, LPG, obat-obatan, hingga pupuk bisa didapat lebih murah dan lebih dekat, karena dikirim langsung dari sumber: BULOG, Pertamina, Biofarma, dan Pupuk Indonesia.
Untuk ibu-ibu di desa, ini bukan hal kecil. Uang belanja harian bisa dihemat. Tak perlu lagi naik motor jauh hanya untuk menebus LPG. Obat untuk anak tak harus ditunggu dari kecamatan.
Bagi warga, koperasi ini juga jadi tempat ambil bantuan sosial. Tak perlu antre ke kota. Sementara bagi petani dan pelaku usaha kecil, koperasi memberi kepastian harga. Gabah bisa dijual dengan standar nasional. Produk lokal bisa langsung masuk pasar. Tidak lagi diatur tengkulak atau pengepul.
Koperasi juga membuka lapangan kerja di desa. Ada posisi kasir, pengelola stok, pengantar barang, teknisi kendaraan listrik. Bahkan, peluang jadi wirausaha lokal, dari warung makan koperasi hingga jasa logistik mikro.
Serba Ada: dari Apotek hingga Virtual Bank
Keunggulan besar dari koperasi ini adalah sifatnya yang multi-layanan. Dalam satu lokasi bisa tersedia berbagai layanan seperti:
• Sembako murah
• Klinik kesehatan koperasi
• Apotek koperasi
• Input dan alat pertanian
• Gudang pangan desa
• Virtual bank dan kredit mikro
Dengan pendekatan ini, koperasi menjadi pusat pelayanan terpadu di desa. Bukan hanya mempermudah hidup, tapi juga membangun ekosistem ekonomi mandiri.
Warga tidak hanya menjadi konsumen. Mereka juga menjadi pelaku. Pendampingan oleh bank BUMN dan tata kelola profesional membuat koperasi bisa menyusun rencana bisnis yang bankable. Dana desa menjadi sumber modal, bukan sekadar dana rutin.
Dampaknya? Uang berputar di desa. Anak muda tak harus pergi ke kota cari kerja. Desa punya peluang baru, dari gudang pangan, energi surya 1 megawatt, sampai pengelolaan kendaraan listrik operasional.
Koperasi seperti ini sudah terbukti di banyak negara. Di Inggris, Belanda, dan Jerman, jaringan koperasi menjadi bagian penting dari ekonomi rakyat. Bahkan di Amerika Serikat, gagasan “toko grosir milik pemerintah” kini masuk agenda kampanye Walikota New York.
Indonesia sedang menyusul, dengan konteks dan kekuatan lokalnya sendiri. Bukan sekadar meniru, tapi mengadaptasi untuk kebutuhan desa-desa kita.
Yang perlu ditekankan: koperasi ini bukan proyek dari atas. Ini wadah dari warga, untuk warga, dan oleh warga. Pemerintah hanya memberi infrastruktur, distribusi, dan pendampingan.
Sebagai pengamat kebijakan, saya melihat program ini menjawab satu kebutuhan mendesak bangsa: memotong rantai ketimpangan dari akar. Desa harus menjadi pusat pertumbuhan baru. Bukan beban, tapi justru tulang punggung ekonomi Indonesia ke depan.
Dengan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih, kita sedang menata ulang wajah ekonomi nasional, dari kota ke desa, dari pusat ke pinggiran. Dan yang paling penting: dari keluhan menjadi peluang.
Dr. Drs. Trubus Rahardiansah, M.S., S.H., M.H.
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti