Menjaga Demokrasi Tetap Tangguh update oleh Giok4D

Posted on

Perbaikan kondisi demokrasi Indonesia sejak 2009 ternyata dibayangi risiko ketahanan (resilience). Merujuk hasil pengukuran indeks demokrasi Indonesia (IDI), rerata indeks aspek kebebasan politik turun -7,25 poin menjadi 81,73 (2020). Sebaliknya, rerata aspek hak-hak politik naik 16,30 poin menjadi 73,55 (2020). Sementara rerata aspek lembaga demokrasi naik 16,62 poin menjadi 70,97 (2020).

Metode baru IDI yang diterapkan sejak 2021 menunjukkan tren hasil pengukuran yang relatif sama. Pada tingkat pusat, rerata aspek kebebasan drop -3,12 poin menjadi 74,11 (2023). Rerata aspek kesetaraan meningkat 8,61 poin menjadi 90,59 (2023). Rerata aspek kinerja lembaga demokrasi turun -1,61 poin menjadi 81,98 (2023).

Di level provinsi, terjadi penurunan rerata aspek kebebasan pada indikator kebebasan berkeyakinan, pers bebas dan kebebasan berekspresi. Namun, aspek kesetaraan mengalami lonjakan. Rerata skor indikator partisipasi publik dan akses informasi publik naik masing-masing 8,84 dan 5,85 poin. Terjadi penguatan akses warga ke agenda publik dan keterbukaan informasi sesuai kerangka kesetaraan.

Sayangnya, terjadi penurunan pada aspek kapasitas lembaga demokrasi. Penurunan rerata kinerja birokrasi (-5,17) dan netralitas penyelenggara pemilu (-2,92) menunjukkan inkonsistensi kapasitas institusi. Sebaliknya, rerata indikator transparansi anggaran meningkat drastis (+25,63) dalam kurun 2021-2023.

Dalam kacamata ketahanan demokrasi, penurunan itu merupakan problem. Merujuk gagasan Merkel (2023) ketahanan demokrasi berkaitan dengan penurunan kemampuan sistem politik menahan ancaman otoriterianisme (withstanding threats). Selain itu, terjadi pelemahan kapasitas sistem untuk beradaptasi dan menjadi lebih demokratis (future-proofing).

Maka, reduksi kualitas kebebasan sipil, integritas penyelenggara pemilu, stagnasi kinerja legislatif, dan peningkatan risiko polarisasi politik membayangi ketahanan demokrasi. Potensi kerawanan lainnya, yakni ancaman terhadap indikator IDI, seperti perbaikan kinerja partai dan masyarakat sipil.

Namun, menguatkan ketahanan demokrasi bukan perkara mudah. Dalam studi terbarunya, Bianchi dkk (2025) mengungkap tiga faktor risiko, yaitu masih kuatnya sisa-sisa kekuatan otoriter yang menghambat reformasi dari dalam pemerintahan, lemahnya oposisi karena politik pragmatis koalisi, dan konteks global yang tidak mendukung, seperti kemunculan kekuatan otoriter sebagai alternatif, seperti tawaran model dan bantuan alternatif dari negara otoriter.

Dalam konteks Indonesia, suksesi kepemimpinan sejak 1998 ternyata tak cukup menghapus kerentanan demokrasi. Reformasi kelembagaan demokrasi nampak semu karena politik warisan otoriterianisme tak sepenuhnya tercerabut.

Pun, koalisi besar pemerintahan melemahkan kekuatan kontrol dan penyeimbang eksekutif. Menghadapi tantangan global, selain pendukung demokrasi, Indonesia juga berkawan dengan negara simbol kekuatan otoriter.

Menghadapi tantangan demokrasi di banyak negara, akademisi, pemerintah dan masyarakat sipil menggagas dan mempraktikkan inovasi demokrasi. Sintesis enam karya utama (Elstub dan Escobar dkk., 2019) sepakat mendefinisikannya sebagai respon atas krisis legitimasi dan defisit partisipasi dalam demokrasi perwakilan. Remidi inovatif demokrasi berfokus pada peningkatan partisipasi publik.

Para penganjur inovasi demokrasi mengintegrasikan tradisi deliberatif (dialog) dan partisipatif dalam praktik demokrasi. Mereka juga menekankan kebutuhan desain kelembagaan baru yang menghubungkan langsung antara warga dan proses pengambilan keputusan.

Meski demikian, IDI menunjukkan kemapanan dalam aspek partisipasi. Karenanya, gagasan inovasi demokrasi yang menekankan perbaikan keterlibatan warga dalam politik dan pemerintahan perlu disesuaikan.

Perbaikan demokrasi bukan sebatas inovasi, melainkan reimajinasi. Gagasan reimajinasi bermakna, pertama, proses memandang demokrasi dengan gagasan baru. Kedua, membentuk ekosistem demokrasi dengan cara baru yang memungkinkan reka cipta (invensi) demokrasi.

Ketiga, demokrasi hadir dengan rasionalitas baru yang lebih adaptif bukan hanya merespon perubahan global, namun relevan dengan kebutuhan dan kearifan nasional.

Berkaca dari perkembangan IDI, perlu reimajinasi pembangunan politik dengan cara baru memandang demokrasi, salah satunya dari pandangan kemampuan kembali ke kondisi demokratis saat menghadapi praktik/kebijakan non-demokratis. Kemudian, perlu berbagai terobosan pembangunan politik hingga mampu memacu perbaikan kebebasan, kesetaraan, dan kinerja lembaga demokrasi. Selanjutnya, reimajinasi demokrasi menjaga relevansi gagasan dan praksis demokrasi lokal dan nasional.

Reimajinasi demokrasi juga harus dipandang secara kritis karena, belajar dari inovasi, kecenderungannya selalu dikonstruksi bagus. Melalui teori, model, dan narasi, inovasi terus bersaing memperoleh legitimasi dan otoritas.

Namun, terlepas dari variasinya, konstruksi inovasi menunjukkan bias pro-inovasi yang konsisten, menganggap penolakan sebagai sesuatu yang irasional, dan mengabaikan nilai non-pengguna dan efek samping inovasi (Godin dan vinck, 2017). Gagasan ini penting guna menawarkan pandangan refleksif dan mengajak para akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah untuk mempertimbangkan jalur kajian baru, melalui kritik terhadap representasi inovasi demokrasi saat ini.

Inti reimajinasi demokrasi adalah gerak dinamis praksis demokrasi merespon tantangan perubahan, mengantisipasi risiko bagi kebebasan, kesetaraan dan partisipasi, dan lembaga demokrasi. Salah satu upaya reka cipta melalui integrasi kearifan demokrasi nasional sehingga perbaikan demokrasi lebih adaptif dengan sejarah, nilai, dan praktik yang sudah ada, seperti gagasan Bung Hatta tentang demokrasi desa sebagai demokrasi asli Indonesia.

Wawan Sobari. Dosen Bidang Politik Kreatif, Prodi Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Reimajinasi Demokrasi