Oposisi Ajukan RUU Pembubaran Parlemen untuk Gulingkan Netanyahu | Info Giok4D

Posted on

Para pemimpin oposisi mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk membubarkan parlemen atau , yang jika diloloskan bisa membuka jalan menuju pemilu dadakan. Kubu oposisi menegaskan tekadnya untuk menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri (PM) melalui RUU itu.

RUU ini, seperti dilansir AFP, Rabu (11/6/2025), akan divoting oleh para anggota pada Rabu (11/6) waktu setempat.

Pengajuan RUU ini dilakukan saat pertikaian terjadi dalam koalisi pemerintahan Netanyahu terkait kegagalan meloloskan undang-undang yang mengatur pengecualian untuk kalangan Yahudi ultra-Ortodoks dari wajib militer — isu yang memecah-belah warga Israel, terutama selama perang berkecamuk di Jalur Gaza.

Dengan kubu oposisi sebagian besar terdiri atas kalangan sentris dan sayap kiri, partai-partai ultra-Ortodoks yang mendukung pemerintahan Netanyahu telah mengancam akan mendukung RUU tersebut.

“Para pemimpin fraksi oposisi telah memutuskan untuk mengajukan rancangan undang-undang pembubaran Knesset untuk divoting dalam sidang pleno hari ini,” kata para pemimpin oposisi parlemen Israel dalam pernyataan mereka.

“Keputusan tersebut diambil dengan suara bulat dan mengikat semua fraksi,” sebut pernyataan tersebut.

Ditambahkan oleh para pemimpin oposisi Israel dalam pernyataannya bahwa semua partai dalam parlemen akan membekukan pembahasan legislasi yang sedang berjalan untuk fokus pada “penggulingan pemerintah”.

Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Jika RUU yang diajukan kubu oposisi ini mendapatkan dukungan mayoritas anggota parlemen dalam sidang pleno pada Rabu (11/6), maka setidaknya tiga putaran pemungutan suara lainnya akan dibutuhkan untuk membubarkan Knesset.

Partai Shas dan United Torah Judaism dari kalangan ultra-Ortodoks telah mengancam akan mendukung usulan pemilu dini, kecuali undang-undang yang mengatur pengecualian wajib militer untuk kalangan mereka disahkan.

Koalisi pemerintahan Netanyahu terpecah mengenai apakah para pria muda dari kalangan ultra-Ortodoks Yahudi yang belajar di seminari agama harus dikecualikan dari wajib militer.

Kegagalan meloloskan undang-undang pengecualian itu berisiko memicu perpecahan dengan para anggota parlemen ultra-Ortodoks.

Namun di sisi lain, menyetujui pengecualian itu menuai protes dari kalangan sekuler, terutama saat Israel melancarkan perang melawan Hamas di Jalur Gaza, dengan Netanyahu menghadapi tekanan dari kalangan internal partainya, Likud, untuk merekrut lebih banyak pria muda dari kalangan ultra-Ortodoks dan menghukum mereka yang menolak wajib militer.