Pemerintah telah buka suara mengenai putusan yang mewajibkan pendidikan. Pemerintah saat ini mengkaji perintah MK itu.
Dirangkum infocom, Jumat (30/5/2025), putusan itu diketahui ada karena gugatan yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Gugatan mereka terdaftar dengan nomor perkara 3/PUU-XXIII/2025.
Mereka mengajukan permohonan karena menilai tidak maksimalnya penggunaan anggaran pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia. Seperti contohnya, dalam permohonan mereka, JPPI menemukan data pada 2016 yang menujukan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program penuntasan wajib belajar di jenjang pendidikan dasar, tetapi lebih digunakan untuk belanja tidak langsung.
“Bahwa berdasarkan data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sangat memungkinkan pendidikan dasar baik di sekolah swasta maupun negeri dibiayai oleh 20% APB dan 20% APBD, dengan beberapa alasan yang mendukung,” bunyi alasan permohonan pemohon.
Adapun petitum mereka ialah:
1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;
2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar minimal Pada Jenjang
Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau,Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Termohon dalam gugatan ini adalah pemerintah. Termohon pada dasarnya meminta hakim konstitusi menolak pengujian para pemohon seluruhnya atau tidak menerima permohonan itu dengan melampirkan sejumlah bukti yang diajukan pihak termohon.
Namun MK memiliki pandangan lain. MK bahkan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, permohonan yang meminta agar pendidikan dasar digratiskan dikabulkan MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat’,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Rabu (28/5).
Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai frasa ‘wajib belajar’ minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan data tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa bersekolah di sekolah swasta.
“Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” ujar Enny.
MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, kata Enny, frasa ‘tanpa memungut biaya’ dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
MK membuat pengecualian dalam putusan ini. Pengecualian ini dibuat untuk sekolah swasta yang memiliki biaya tinggi atau sekolah berstandar tinggi dengan kurikulum internasional atau keagamaan.
MK memahami semua sekolah atau madrasah swasta di seluruh Indonesia yang turut menyelenggarakan pendidikan dasar tidak dapat diletakkan dalam satu kategori yang sama berkenaan dengan kondisi pembiayaan yang melatarbelakangi adanya pungutan biaya kepada peserta didik. Selain itu, sejumlah sekolah atau madrasah swasta menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti kurikulum internasional atau keagamaan yang merupakan kekhasan atau dijadikan ‘nilai jual’ (selling point) keunggulan sekolah dimaksud.
Menurut MK, sekolah-sekolah seperti itu berpengaruh terhadap motivasi atau tujuan dari peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah itu sehingga warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tersebut tidak sepenuhnya didasarkan atas tidak tersedianya akses terhadap sekolah negeri.
Artinya, menurut MK, orang tua peserta didik di sekolah swasta berstandar tinggi itu sadar bahwa sekolah di sana itu mahal. Maka, menurut MK, putusan ini tidak berlaku untuk sekolah swasta seperti itu. Oleh karena itu, MK meminta pemerintah selektif dan memprioritaskan anggaran pendidikan itu ke sekolah negeri dan swasta dengan mempertimbangkan faktor peserta didiknya.
“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka menekan pembiayaan yang dapat membebani peserta didik, khususnya dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar, negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah atau madrasah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor ‘kebutuhan’ dari sekolah atau madrasah swasta tersebut,” bunyi keterangan MK.
“Dalam rangka memastikan efektivitas bantuan pendidikan dari pemerintah dengan nama atau istilah apapun bagi peserta didik yang bersekolah di satuan pendidikan dasar pemerintah atau pemerintah daerah serta bersekolah di satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah/madrasah swasta), Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Hal ini untuk menjamin bahwa sekolah atau madrasah swasta yang memperoleh bantuan pendidikan tersebut dikelola sesuai dengan standar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta memiliki mekanisme tata kelola dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan, termasuk yang perolehannya berasal dari bantuan pemerintah.
“Kami masih menganalisis keputusan MK,” ujar Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti saat dihubungi, Rabu 28 Mei lalu.
Mu’ti mengatakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) saat ini menganalisa untuk menindaklanjuti putusan MK iti. Mu’ti memastikan pihaknya segera mengumumkan hasil analisisnya itu.
“Belum ada keputusan yang bisa di-share ke publik,” katanya.
Putusan MK
Pertimbangan MK
Bagaimana Sekolah Kurikulum Internasional?
Sikap Pemerintah Atas Putusan MK
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat’,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Rabu (28/5).
Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai frasa ‘wajib belajar’ minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan data tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa bersekolah di sekolah swasta.
“Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” ujar Enny.
MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, kata Enny, frasa ‘tanpa memungut biaya’ dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
Putusan MK
Pertimbangan MK
MK membuat pengecualian dalam putusan ini. Pengecualian ini dibuat untuk sekolah swasta yang memiliki biaya tinggi atau sekolah berstandar tinggi dengan kurikulum internasional atau keagamaan.
MK memahami semua sekolah atau madrasah swasta di seluruh Indonesia yang turut menyelenggarakan pendidikan dasar tidak dapat diletakkan dalam satu kategori yang sama berkenaan dengan kondisi pembiayaan yang melatarbelakangi adanya pungutan biaya kepada peserta didik. Selain itu, sejumlah sekolah atau madrasah swasta menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti kurikulum internasional atau keagamaan yang merupakan kekhasan atau dijadikan ‘nilai jual’ (selling point) keunggulan sekolah dimaksud.
Menurut MK, sekolah-sekolah seperti itu berpengaruh terhadap motivasi atau tujuan dari peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah itu sehingga warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tersebut tidak sepenuhnya didasarkan atas tidak tersedianya akses terhadap sekolah negeri.
Artinya, menurut MK, orang tua peserta didik di sekolah swasta berstandar tinggi itu sadar bahwa sekolah di sana itu mahal. Maka, menurut MK, putusan ini tidak berlaku untuk sekolah swasta seperti itu. Oleh karena itu, MK meminta pemerintah selektif dan memprioritaskan anggaran pendidikan itu ke sekolah negeri dan swasta dengan mempertimbangkan faktor peserta didiknya.
“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka menekan pembiayaan yang dapat membebani peserta didik, khususnya dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar, negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah atau madrasah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor ‘kebutuhan’ dari sekolah atau madrasah swasta tersebut,” bunyi keterangan MK.
“Dalam rangka memastikan efektivitas bantuan pendidikan dari pemerintah dengan nama atau istilah apapun bagi peserta didik yang bersekolah di satuan pendidikan dasar pemerintah atau pemerintah daerah serta bersekolah di satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah/madrasah swasta), Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Hal ini untuk menjamin bahwa sekolah atau madrasah swasta yang memperoleh bantuan pendidikan tersebut dikelola sesuai dengan standar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta memiliki mekanisme tata kelola dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan, termasuk yang perolehannya berasal dari bantuan pemerintah.
Bagaimana Sekolah Kurikulum Internasional?
“Kami masih menganalisis keputusan MK,” ujar Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti saat dihubungi, Rabu 28 Mei lalu.
Mu’ti mengatakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) saat ini menganalisa untuk menindaklanjuti putusan MK iti. Mu’ti memastikan pihaknya segera mengumumkan hasil analisisnya itu.
“Belum ada keputusan yang bisa di-share ke publik,” katanya.