Menakar Status Bencana Nasional dan Ruang Fiskal

Posted on

Bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa waktu terakhir kembali menguji kepekaan sekaligus ketegasan negara. Di satu sisi, warga terdampak, pemerintah daerah, dan sebagian pengamat kebencanaan mendesak agar pemerintah pusat segera menetapkan status bencana nasional.

Di sisi lain, pemerintah memilih menahan keputusan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Perbedaan pandangan ini memunculkan kegelisahan publik, seolah negara ragu hadir sepenuhnya di tengah krisis.

Padahal, di balik perdebatan tersebut, tersimpan persoalan yang jauh lebih mendasar yaitu bagaimana negara menyeimbangkan tanggung jawab kemanusiaan dengan keberlanjutan kebijakan fiskal.

Dalam sejarah Indonesia, status bencana nasional sebenarnya bukanlah kebijakan yang lazim digunakan. Sejak kemerdekaan, pemerintah hanya tiga kali menetapkan bencana berskala nasional, yakni Gempa dan Tsunami Flores pada 1992, Tsunami Aceh pada 2004, dan Pandemi Covid-19 pada 2020. Fakta ini menunjukkan bahwa penetapan bencana nasional selalu ditempatkan sebagai kebijakan luar biasa (extraordinary policy), bukan respons rutin atas setiap bencana besar.

Dengan demikian, kehati-hatian pemerintah saat ini memiliki landasan historis dan institusional yang kuat.

Dalam kerangka hukum, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa status bencana nasional ditetapkan berdasarkan indikator objektif, seperti jumlah korban jiwa, luas wilayah terdampak, kerusakan infrastruktur strategis, serta kemampuan pemerintah daerah dan provinsi dalam melakukan penanganan. Status nasional pada dasarnya merupakan pengakuan bahwa kapasitas daerah telah terlampaui dan negara perlu mengambil alih secara penuh.

Oleh karena itu, keputusan untuk tidak serta-merta menetapkan status nasional dapat dipahami sebagai upaya menjaga konsistensi kebijakan sekaligus mencegah preseden yang berimplikasi luas terhadap tata kelola fiskal.

Dari perspektif fiskal, penetapan bencana nasional memang membawa konsekuensi besar. APBN harus menanggung pembiayaan tambahan untuk bantuan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, yang sering kali bersifat multiyears.

Pada saat yang sama, APBN juga memikul beban struktural lain, seperti perlindungan sosial, pembangunan infrastruktur, transisi energi, dan stabilisasi ekonomi. Dalam kondisi ruang fiskal yang terbatas, setiap keputusan fiskal darurat harus diambil secara terukur agar tidak menggerus kredibilitas pengelolaan anggaran negara.

Namun, pendekatan fiskal yang terlalu defensif juga menyimpan risiko serius. Bagi daerah terdampak, keterbatasan fiskal lokal sering kali membuat penanganan bencana berjalan lambat dan terfragmentasi.

Belanja tidak terduga (BTT) daerah, dana siap pakai BNPB, serta realokasi APBD memang tersedia, tetapi dalam banyak kasus tidak cukup untuk memulihkan infrastruktur rusak, menghidupkan kembali aktivitas ekonomi, dan memastikan layanan publik dasar berjalan normal secara bersamaan.

Ketika pemulihan tertunda, biaya sosial dan ekonomi justru membesar, mulai dari hilangnya mata pencaharian hingga meningkatnya kerentanan masyarakat. Dalam jangka menengah, beban tersebut pada akhirnya kembali ke APBN dalam bentuk kebutuhan bantuan lanjutan.

Pengalaman internasional memberikan pelajaran penting mengenai strategi pembiayaan bencana. Tsunami Aceh 2004 menjadi contoh bagaimana keterlibatan komunitas internasional dapat mempercepat pemulihan. Bantuan hibah dan pinjaman lunak dari negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, serta lembaga multilateral memungkinkan pembangunan kembali infrastruktur vital dalam waktu relatif singkat.

Dalam konteks fiskal, bantuan asing tersebut berfungsi sebagai bantalan APBN, mengurangi tekanan langsung terhadap defisit negara, sekaligus memberi ruang bagi pemerintah untuk fokus pada tata kelola pemulihan dan reformasi kelembagaan.

Sebaliknya, terdapat pula negara yang memilih memulihkan diri tanpa mengandalkan bantuan asing. Jepang pasca-gempa dan tsunami Tōhoku 2011 hampir sepenuhnya mengandalkan pembiayaan domestik melalui penerbitan obligasi rekonstruksi dan pemanfaatan cadangan fiskal nasional.

Pendekatan ini memungkinkan kontrol penuh atas agenda pemulihan dan menjaga kedaulatan kebijakan fiskal. Namun, pengalaman Jepang juga menunjukkan bahwa pilihan tersebut hanya dimungkinkan karena kesiapan institusional, disiplin fiskal, serta sistem mitigasi risiko yang telah dibangun jauh sebelum bencana terjadi.

Indonesia berada di antara dua pendekatan tersebut. Ruang fiskal tersedia, tetapi tidak selebar negara maju. Di sisi lain, ketergantungan penuh pada bantuan asing juga bukan pilihan yang selalu ideal. Oleh karena itu, perdebatan mengenai penetapan status bencana nasional di Aceh, Sumut, dan Sumbar seharusnya tidak direduksi menjadi soal “ya atau tidak”, melainkan diarahkan pada efektivitas respons negara.

Jika kapasitas fiskal daerah dan dukungan pusat dalam kerangka non-nasional terbukti tidak mencukupi, maka penetapan status nasional menjadi instrumen kebijakan yang sah dan berkeadilan. Sebaliknya, jika pemerintah pusat mampu memastikan percepatan bantuan dan fleksibilitas anggaran tanpa status nasional, pendekatan tersebut juga patut diapresiasi.

Dalam konteks ini, transparansi kebijakan menjadi kunci. Publik perlu mengetahui secara jelas berapa besar anggaran yang telah dialokasikan, instrumen fiskal apa saja yang digunakan, serta bagaimana mekanisme pengawasannya.

Tanpa komunikasi yang memadai, keputusan fiskal yang berbasis data mudah dipersepsikan sebagai kurang empatik. Pemerintah tidak cukup hanya menyatakan bahwa status bencana nasional belum diperlukan, tetapi juga harus menjelaskan bagaimana negara memastikan pemulihan berjalan cepat, adil, dan akuntabel.

Ke depan, polemik ini semestinya menjadi momentum untuk memperkuat sistem pembiayaan kebencanaan nasional. Indonesia membutuhkan mekanisme yang lebih prediktif dan berbasis risiko, tidak semata-mata bergantung pada status administratif.

Penguatan dana cadangan permanen untuk bencana, pengembangan skema asuransi risiko bencana, serta integrasi risiko iklim ke dalam perencanaan fiskal jangka menengah merupakan langkah strategis yang semakin mendesak. Dengan sistem yang lebih matang, negara tidak selalu berada dalam posisi reaktif setiap kali bencana terjadi.

Pada akhirnya, penetapan bencana nasional bukanlah tujuan akhir. Ukuran keberhasilan negara terletak pada seberapa cepat dan adil pemulihan dirasakan oleh warga terdampak, tanpa mengorbankan stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan. Dalam sejarahnya yang sangat selektif menetapkan bencana nasional, Indonesia justru diuji untuk membuktikan bahwa kehati-hatian kebijakan tidak identik dengan abainya negara, melainkan bagian dari upaya menjaga keadilan sosial dan ketahanan ekonomi dalam jangka panjang.

Indrawan Susanto. Pegawai di Direktorat Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan, Kemenkeu RI.

Simak juga Video: Komisi V DPR Dukung Penetapan Bencana Nasional di Sumatera